Friday, March 4, 2016

Karya Ilmiah Lingkungan Bisnis "Malioboro Riwayatmu Kini"

Memudarnya Aura Malioboro

Saat ini malioboro hanya sekedar magnet ekonomi yang luar biasa kuatnya. Bahkan Pemda Yogyakarta pun terlihat sedikit kuwalahan dalam menata dan menetibkan Malioboro, khususnya yang terkait dengan hiruk-pikuk ekonomi. Semua ini tampak justru berawal dari "legenda" Malioboro sebagai ciri khas Yogyakarta, sebagai pembentuk citra kota budaya. Orang merasa belum ke Yogyakarta apabila belum berkunjung ke Malioboro. Sehingga semua berbondong-bondong ke Malioboro. Pada akhirnya tumbuhlah "pasar" di Malioboro, dari yang sekelas pusat-pusat perdagangan seperti toko sampai yang berkelas kaki lima. Semua tumpah-ruah di sepanjang jalan Malioboro.

Malioboro yang dulu lebih berfungsi sebagai area "pencerahan" berbagai komunitas, nyatanya sekarang telah mengalami banyak pergeseran. Malioboro sebagai penggalan imaginary axis Tugu Pal Putih-Panggung Krapyak nampak mulai kehilangan auranya. Jalur laku spiritual dari Keraton-Pangurakan-Marga Mulya hingga Marga Utama-Tugu Pal-Putih barangkali semakin dilupakan banyak orang.

Dominasi warna ekonomi di Malioboro rupanya membuat berbagai komunitas budaya yang membutuhkan ruang publik untuk menumpahkan ekspresinya mencari kantong-kantong baru sebagai area berekspresi. Beberapa kantong kebudayaan baru muncul dengan penggeraknya masing-masing, seperti kampung Nitiprayan dengan dimotori Hari "Ong" Wahyu, atau kampung Kersan dengan Mas Djaduk beserta Mas Butet. Belum lagi kantong-kantong budaya yang sudah lebih dulu ada seperti seputaran Kotagede.

Fenomena ini semakin lengkap dengan adanya beberapa warung yang dipakai nongkrong para pengagas berbagai kegiatan seni. Di Suryowijayan ada warung oseng-oseng mercon Beni Kencung, sementara di Bugisan ada warung tenda biru Kang Min.

Area Ngudar Gagasan

Kegelisahan para pelaku seni budaya atas hilangnya ruang publik sebagai tempat berekspresi yang nyaman rupanya tidak menutup kreativitas mereka. Justru hal itu mendorong mereka untuk menciptakan dan mencari area-area baru sebagai tempat ekspresi kreativitas.

Malioboro sebagai sebuah kawasan budaya nampaknya bukan lagi merupakan tempat yang nyaman bagi komunitas seni budaya untuk mengungkapkan perasaan, saling bertukar ide dan gagasan. Bagi mereka barangkali Malioboro hanyalah sekedar masa lalu yang indah untuk dikenang, sedang saat ini bukan tempat yang ideal untuk menggali ide-ide kreatif. Malioboro hanyalah bangunan budaya masa lalu.

Memang sebuah bangunan atau kawasan yang disiapkan sebagai area kegiatan kebudayaan seringkali tidak dapat diterima oleh para penggiat seni budaya untuk melampiaskan ekspresinya. Hal ini lebih sering disebabkan oleh tidak adanya rasa kemerdekaan saat berekspresi di tempat tersebut. Tidak ada rasa memiliki wilayah itu, karena memang bukan mereka yang menyiapkanya. Ada "pihak lain" yang merasa lebih memiliki wilayah itu.

Bagi Yogyakarta sendiri sebenarnya sudah tersedia Purna Budaya, Beteng Vredeburg, Gedung Societet dan beberapa tempat lain. Secara tempat, rasanya cukup memadai sebagai wahana ekspresi rasa seni para pelaku kebudayaan. Tetapi dalam kenyataanya di tempat-tempat tersebut tidak terlihat kehidupan seni budaya yang cukup ramai, hanya ada kegiatan pada waktu-waktu tertentu saja. Tidak ada diskusi-diskusi seni yang intens atau silih berganti dengan peserta dari berbagai lapisan masyarakat, sebagaimana kehidupan malam di Malioboro sekian tahun yang lalu.

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa bangunan fisik saja tidaklah cukup. Masih dibutuhkan adanya komunitas seni budaya di daerah itu yang berfungsi selaku "roh" seluruh kegiatan kebudayaan. Kebanyakan art centre hanyalah suatu bangunan fisik semata tanpa ada komunitas sebagai penggerak kegiatan di sana. Beberapa menggerakan kegiatan kebudayaan sekaligus menyediakan bangunan fisiknya. Sebut saja, Galeri Seni Cemeti, Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda Karta Pustaka, Lembaga Indoenesia-Perancis, Lembaga Javanologi, dan lain sebagainya. Namun seharusnya itu saja tidak cukup, masih diperlakukan upaya yang menyeluruh oleh semua pihak terkait.

Pada dasarnya, para pelaku seni budaya membutuhkan area untuk mengungkapkan gagasan. Tempat di mana mereka dapat saling adu argumentasi tentang ide-ide, tentang mimpi-mimpi yang barankali cukup absurd untuk masa sekarang namun bisa jadi merupajan sebuah ide gemilang untuk sekian puluh tahun yang akan datang.

Dalam kasus Malioboro sendiri sebenernya ada dua hal yang perlu dibenahi.
  1. Menyangkut masalah pelestarian fisik bangunan bersejarah yang ada di area ini. Untuk mengatur masalah ini dibutuhkan Peraturan Daerah, selain juga perlu adanya upaya mendistribusikan kegiatan ekonomu agar tidak terkonsentrasi atau terpusat di kawasan Malioboro saja.
  2. Untuk menampung kegiatan mengungkapkan gagasan kiranya perlu disiapkan satu area khusus untuk kongkow-kongkow dan nyaman sekaligus ngudarasa segala ekspresi penggiat seni budaya.

Saat ini rasanya Malioboro sudah tidak mampu lagi mewadahi aktivitas pelaku seni budaya dalam berolah-batin. Barangkali karena kesumpekan-kesumpekan itulah, maka acara Obrolan Angkring di TVRI Yogyakarta cukup banyak peminatnya. Secara tidak sadar sebenarnya masyarakat merindukan suasana sebagaimana tersaji dalam acara tersebut. Masyarakat butuh tempat untuk dapat ngadurasa dan mengomentari berbagai fenomena yang muncul di lingkungan keseharian masing-masing.

0 comments: